Rabu, 11 Mei 2011

pertolongan pertama jika Bayi,, pingsan

Siapa pun pasti panik jika menemukan bayinya tidak sadarkan diri (pingsan) dan napasnya berhenti. Tapi orangtua atau siapapun yang dekat dengannya bisa memberikan pertolongan pertama CPR (cardiopulmonary resuscitation).

Tubuh bayi tidak sama dengan tubuh orang dewasa, karena anak bayi tulangnya masih sangat rentan dan diperlukan trik-trik khusus untuk bisa membantunya bernapas kembali atau sadar tanpa mencederainya.

"Dalam memberikan CPR untuk bayi tidak menggunakan dua tangan tapi cukup 2 jari saja, yaitu bisa jari telunjuk dengan tengah, jari tengah dan jari manis atau jempol saja," ujar EMT Anwar Buchari, Manager Operation dari Medic One, dalam acara Life Saver CPR Competency, di Wisma GKBI, Jakarta.

Anwar memberikan tahapan pertolongan pertama untuk bayi, sebagai berikut:

1. Cek keamanan dan kesehatan (Danger)
Pastikan orang tua meletakkan bayinya di tempat yang datar dan jangan di kasur. Lalu perhatikan bahwa daerah sekitarya aman dari bahaya.

2. Cek respons dari si bayi (Response)
Untuk mengetahui apakah bayi tersebut masih sadar atau tidak, bisa dengan mengelitik atau mengusap telapak tangan dan kakinya. Jika bayi masih sadar, maka secara otomatis bayi akan memberikan respons.

"Karena bayi yang aktif akan menggerakkan kedua anggota badan tersebut," ujar laki-laki berkacamata ini.

3. Buka jalur pernapasan (Airway)
Untuk membantu membukan jalur pernapasan si bayi, cukup dengan cara menarik sedikit dahi bayi ke belakang tanpa perlu menarik dagunya.

4. Berikan napas buatan (Breath)
Pada bayi, napas buatan yang diberikan cukup dengan dua kali tiupan saja dan tidak perlu menutup hidung si bayi. Orangtua cukup menutup mulut dan hidung bayi sekaligus dengan mulutnya, karena jarak antara mulut dan hidung pada saat bayi masih dekat.

5. Berikan tekanan (Compressions)
Dalam memberikan tekanan cukup menggunakan dua jari saja dan diletakkan pada posisi satu jari di bawah garis puting. Tekanan yang diberikan cukup satu pertiga dari kedalaman dada dan dilakukan sebanyak 30 kali.

Lakukan dua kali napas buatan dan 30 kali tekanan (2:30) secara berulang sebanyak 5 set atau selama 2 menit. Setelah itu periksa kembali apakah bayi sudah bisa bernapas lagi atau belum dengan mengecek jalur pernapasannya.

"Jika sudah bernapas normal maka letakkan pada recovery position, yaitu gendong bayi dengan posisi mendatar lurus atau dimiringkan pada tempat yang datar," ujar paramedis berusia 30 tahun ini.

Meskipun si bayi sudah bisa bernapas normal kembali dengan bantuan CPR, orangtua sebaiknya tetap membawanya ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Kulit Cantik Berkat Olahraga

Kesehatan dan kecantikan kulit merupakan dambaan setiap wanita. Berbagai produk kecantikan digunakan agar membuat kulit sehat, cantik dan mulus. Beberapa wanita menyiasati keindahan kulitnya agar terlihat muda dengan menggunakan make up. Selain itu, pola makan sehat juga turut menunjang keindahan dan kesehatan kulit. Ada juga yang menggunakan cara-cara tradisional untuk keindahan dan kecantikan kulit, seperti menggunakan coklat ataupun strawberry. Namun dari berbagai cara dan metode untuk mempercantik kulit, jangan lupa berolahraga. Apa saja manfaat olahraga untuk kulit Anda?
  • Membantu mengeluarkan racun dan radikal bebas dari dalam tubuh

    Asap rokok, polusi udara atau bahan kimia pada produk kecantikan berdampak buruk pada kulit kita. Radikal bebas akibat hal tersebut merusak kulit sehingga dapat menyebabkan keriput atau flek. Dengan berolahraga, racun yang ada dalam tubuh kita dapat dikeluarkan. Sirkulasi darah yang baik menyebabkan distribusi nutrisi untuk kulit diserap maksimal dan membantu mengeluarkan racun yang ada di kulit.
  • Merangsang produksi kolagen

    Kolagen adalah zat pengisi sel kulit yang membuat kulit menjadi kenyal dan kencang. Seiring bertambahnya usia, produksi kolagen semakin menurun dan berkurang yang mengakibatkan kulit menjadi kering dan berkerut. Produksi kolagen dapat dipacu dengan melakukan olahraga rutin karena sel kulit akan mendapatkan oksigen dan distribusi nutrisi yang baik sehingga kulit akan bersinar dan lentur.
  • Mencegah timbulnya jerawat

    Hal ini karena olahraga membantu mengontrol produksi hormon DHEA dan DHT yang memicu timbulnya jerawat. Penyebab lain jerawat adalah karena stres. Saat stres akan diproduksi hormon yang juga memicu jerawat. Tetapi, hasil penelitian membuktikan bahwa kebanyakan stres akan berkurang bila Anda berolahraga teratur sehingga jerawat tidak akan muncul.
  • Mengurangi selulit

    Selulit terjadi akibat jalinan fibroblast tertarik dan membentuk kantung lemak. Selulit umumnya ada di bokong, paha belakang atau lengan dan membuat kulit menyerupai kulit jeruk. Kehadiran selulit akan mengganggu penampilan Anda. Saat berolahraga, tubuh mengalami proses pembentukan dan peregangan otot sehingga selulit yang ada dapat dihilangkan.
Setelah mengetahui bahwa olahraga juga bermanfaat untuk kecantikan, maka tidak ada alasan untuk tidak berolahraga hari ini bukan?
http://kumpulan.info/cantik/tips-kecantikan/37-tips/155-kulit-cantik-berkat-olahraga.html 

Penyakit Jantung Koroner

bagaimana Proses Persalinan?

Proses Persalinan

Selama kehamilan, janin tinggal dengan aman pada rahim calon ibu. Di tempat yang terlindung ini, janin mendapat makanan yang bergizi, terlindung dan terus berkembang sampai akhirnya janin lengkap membentuk organ-organ tubuh dan siap dilahirkan. Proses ini dapat terus berlangsung karena leher rahim tertutup rapat sehingga janin dapat terus tinggal aman di dalam rahim selama kurang lebih 9 bulan. Setelah masa kehamilan selesai, kini janin siap untuk keluar dari rahim dalam proses persalinan.
Seorang calon ibu yang akan bersalin, biasanya akan dimulai dengan rasa mulas pada perut yang diakibatkan gerakan kontraksi pada otot-otot uterus. Rasa yang tidak menyenangkan dan membuat sakit seorang calon ibu. Kemudian, untuk mempersiapkan jalan keluar bagi bayi, leher rahim mulai menipis, melunak dan merenggang juga ditambah dengan membesarnya vagina. Bersamaan dengan membesarnya leher rahim dan vagina, selaput ketuban pecah dan menjadi penanda, bayi harus segera keluar.
Sebagai tenaga untuk mendorong bayi, rahim mulai menciut dan berkontraksi yang akan membantu bayi keluar. Calon ibu juga harus membantu besarnya tenaga dorongan agar bayi dapat segera keluar. Pada persalinan normal, seorang calon ibu mengejan agar kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu dapat terjadi.
Penyebab rahim yang menciut dan perenggangan leher rahim dipicu oleh 2 hal. Pertama, dihasilkannya hormon oksitosin yang diproduksi otak dalam jumlah yang besar. Faktor kedua adalah berhentinya hormon progesteron dari plasenta sehingga rahim mulai berkontraksi dan akan mendorong bayi keluar.
Setelah bayi keluar, bayi harus mengalami perubahan lingkungan yang sangat berbeda dari tempat tinggal sebelumnya di dalam rahim. Jika sebelumnya paru-paru janin pada rahim berisi air ketuban, kini setelah lahir, paru-paru bayi harus diisi dengan udara agar dapat bernapas. Untuk mengisi paru-parunya dengan udara, bayi harus menangis dan ini menjadi tangisan pertama yang menentukan.
Menjalani proses persalinan, walaupun dalam waktu yang relatif singkat akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan, mendebarkan sekaligus membahagiakan karena inilah proses untuk kehadiran sang buah hati. Agar dapat menjalankan proses persalinan dengan lancar, kesehatan ibu dan beberapa prosedur perlu diketahui calon ibu. Maka, sangatlah penting untuk tetap menjaga kesehatan dan menyantap makanan yang bergizi untuk menyambut kehadiran bayi Anda.
sumber : http://kumpulan.info/sehat/artikel-kesehatan/48-artikel-kesehatan/341-proses-persalinan-kelahiran-bayi.html

Senin, 09 Mei 2011

FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN DASAR-DASAR PENGATURAN DOSIS DALAM KLINIK

Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 1
FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN
DASAR-DASAR PENGATURAN DOSIS DALAM KLINIK
I. TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan kuliah/diskusi ini bertujuan untuk memberikan penyegaran kembali tentang pelajaran farmakokinetika yang
telah diberikan pada semester yang lalu, penjabaran praktis dari parameter-parameter farmakokinetik dan
penerapannya dalam praktek pengobatan. Selain itu dalam modul ini juga akan dibahas lebih lanjut masalah
penggunaan ilmu farmakokinetika dalam penanganan pasien, meliputi regimen dosis dan farmakokinetika dosis
berulang, pemberian obat per infus, individualisasi dosis dan pemantauan kadar obat selama terapi.
Sesudah mengikuti kegiatan, mahasiswa diharapkan:
1. Mengingat kembali dan memahami pengertian-pengertian farmakokinetika dasar dan arti kliniknya.
2. Memahami dasar-dasar penentuan regimen pengobatan.
3. Memahami dan dapat menghitung dosis untuk melakukan pemeliharaan kadar obat selama pemberian secara
infus.
4. Memahami dan dapat melakukan penyesuaian dosis sesuai dengan kondisi klinik pasien.
5. Memahami kepentingan pemantauan kadar obat selama terapi, pengambilan sampel maupun penafsirannya dari
aspek farmakokinetik.
II. PERSIAPAN
1. Baca catatan kuliah/diskusi A-10/CKD mengenai farmakokinetika Klinik.
2. Baca catatan kuliah Farmakologi I semester IV.
III. PUSTAKA YANG DIANJURKAN (ada di Bagian Farmakologi Klinik)
Rowland, M. & Tozer, T.N. 1989 Clinical Pharmacokinetics: Concepts and Applications, 2nd edition. Lea & Febiger,
Philadelphia.
Clark, B. & Smith, D.A. 1986 An Introduction to Pharmacokinetics, 2nd edition. Blackwell Scientific Publications,
Oxford.
***
A-10/PKD
PETUNJUK KULIAH/DISKUSI
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 2
FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN
DASAR-DASAR PENGATURAN DOSIS OBAT DALAM KLINIK
I. MENGAPA FARMAKOKINETIKA KLINIK ?
Suatu terapi yang optimal memerlukan penentuan obat secara tepat, yang dapat dilakukan dengan dukungan
diagnosis yang akurat, pengetahuan tentang kondisi klinis pasien dan penguasaan farmakoterapi. Setelah obat
ditentukan, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: berapa banyak, berapa sering dan berapa lama obat tersebut
dibutuhkan?. "Berapa banyak" perlu dijawab karena timbulnya intensitas efek obat (terapetik maupun toksik)
umumnya tergantung dosis. "Berapa sering" dipertanyakan karena respons terapetik akan menurun setelah selang
waktu tertentu sesudah minum obat sehingga pemberian obat mungkin perlu berulang-ulang, dan pertanyaan "berapa
lama" perlu dijawab agar dapat dicapai keseimbangan antara keberhasilan (kesembuhan) dengan risiko pengobatan
(toksisitas, efek samping maupun ekonomik).
Bertahun-tahun yang lalu, pertanyaan-pertanyaan di atas, dan juga banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
terapi, dijawab dengan "trial and error". Peneliti memilih dosis, interval pemberian dan cara pemberian, kemudian
mencobanya pada pasien selama waktu tertentu. Hasil pengobatan dan efek samping diamati, dan kemudian bila
perlu, dilakukan perubahan aturan pemberian secara empiris sampai didapatkan keseimbangan antara efek terapi
yang diinginkan dengan efek sampingnya. Dengan cara ini, memang kemudian bisa didapatkan suatu aturan
pemakaian (dosage regimen) obat yang dianggap optimal. Namun banyak pertanyaan yang tetap belum terjawab,
misalnya mengapa fenobarbital dapat diberikan sekali sehari, sedangkan teofilin harus diberikan 4 kali, mengapa
morfin lebih efektif diberikan secara intramuskuler daripada secara oral, dsb.
Dengan perkembangan ilmu selanjutnya, dapat diketahui dari penelitian in vitro maupun in vivo, bahwa ternyata
intensitas efek farmakologik suatu obat tergantung pada kadar obat tersebut dalam cairan tubuh yang berada di
sekitar tempat aksi. Dengan demikian, kemudian timbul pemikiran bahwa mestinya efek farmakologik dapat dioptimalkan
dengan mengatur kadar obat di tempat aksinya, selama periode waktu tertentu. Lebih lanjut, dengan
mengetahui tempat aksi obat dan mengetahui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat
(absorpsi, distribusi obat ke tempat aksi dan eliminasinya), maka dapat dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari
dosis optimal, berdasarkan kadar obat yang terukur dalam darah. Bidang ilmu inilah yang dinamakan farmakokinetik.
Dalam pengembangan suatu obat baru, penelitian farmakokinetika merupakan salah satu tahap penting untuk
memberikan dasar-dasar aturan pemakaian obat. Pada penggunaan obat dalam klinik, farmakokinetika digunakan
untuk memantau dan menyesuaikan penggunaan obat agar didapat manfaat/respons obat yang optimal dengan risiko
seminimal mungkin. Penerapan farmakokinetika dalam pengobatan pasien ini dinamakan farmakokinetika klinik.
II. DASAR-DASAR PENGERTIAN FARMAKOKINETIKA
Farmakokinetika adalah suatu ilmu yang mempelajari kuantitas obat dalam tubuh sehubungan dengan waktu. Dengan
kata lain, farmakokinetika mempelajari bagaimana proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
terjadi, berdasarkan kadar obat yang terukur dalam cairan tubuh vs waktu setelah pemberian. Parameter-parameter
farmakokinetik yang ditemukan kemudian, memerlukan penerjemahan secara praktis agar dapat dipahami
aplikasinya.
A-10/CKD-1
CATATAN KULIAH/DISKUSI-1
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 3
Seperti telah dikemukakan dalam kuliah semester yang lalu, profil farmakokinetika yang paling sederhana dapat
diperoleh pada pemberian obat dengan dosis tunggal (1 kali pemberian). Secara ringkas, suatu obat diberikan dengan
dosis tertentu, kemudian diikuti dengan pengambilan sampel-sampel darah/serum/plasma untuk diukur kadar obatnya
pada waktu-waktu tertentu. Kadar obat dan waktu kemudian diplot dalam suatu kurva, sehingga didapatkan profil
farmakokinetik seperti berikut (lihat gambar 1).
Gambar 1.
Parameter-parameter farmakokinetik kemudian dihitung secara matematis, meliputi tetapan kecepatan
absorpsi (Ka), kadar puncak obat dalam darah/serum/plasma (Cmax), waktu untuk mencapai kadar puncak
(Tmax), tetapan kecepatan eliminasi (Kel), waktu paro eliminasi (T1/2) dan luas daerah di bawah kurva
kadar obat vs. waktu (AUC).
Secara praktis, makna klinik dari parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:
II.1. Tetapan kecepatan absorpsi (Ka)
Tetapan kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan absorpsi, yakni masuknya obat ke dalam sirkulasi
sistemik dari absorpsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskuler,
dsb). Nilai ini merupakan resultante dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya dari pelarutannya
dalam lingkungan tempat absorpsi, proses absorpsi itu sendiri, dan proses lebih jauh yang mungkin telah
berlangsung, yakni distribusi dan eliminasi. Bila terjadi hambatan dalam proses absorpsi, akan didapatkan
nilai Ka yang lebih kecil. Satuan dari parameter ini adalah fraksi persatuan waktu (jam-1 atau menit-1).
selain Ka, gambaran kecepatan disolusi juga bisa diperoleh dari nilai Tlag (lag-time), yakni tenggang waktu
antara saat pemberian obat dengan munculnya kadar obat di sirkulasi sistemik (darah/serum/plasma).
Satuan untuk Tlag adalah jam atau menit.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 4
II.2. Waktu mencapai kadar puncak (Tmax)
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Di samping Ka, Tmax ini juga
digunakan sebagai parameter untuk menunjukkan kecepatan absorpsi, dan parameter ini lebih mudah
diamati/dikalkulasi dari pada Ka. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah dilihat dari
mundurnya/memanjangnya T max. Satuan: jam atau menit.
II.3. Kadar puncak (Cmax)
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma. Nilai ini merupakan resultante dari
proses absorpsi, distribusi dan eliminasi, dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak, proses-proses
absorpsi, distribusi dan eliminasi berada dalam keadaan seimbang. Selain menggambarkan derajad absorpsi, nilai
Cmax ini umumnya juga digunakan sebagai tolok ukur, apakah dosis yang diberikan cenderung memberikan efek
toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal (KTM). Satuan
parameter ini adalah berat/volume (ug/ml atau ng/ml) dalam darah/serum/plasma.
II.4. Tetapan kecepatan eliminasi(Kel)
Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses-proses kinetik mencapai
keseimbangan (lihat II.2.). Satuannya adalah fraksi per waktu (jam-1 atau menit-1). Nilai ini menggambarkan proses
eliminasi, walaupun perlu diingat bahwa pada waktu itu mungkin proses absorpsi dan distribusi masih berlangsung.
Secara praktis, nilai ini kemudian diterjemahkan kedalam parameter lain, yakni T 1/2.
II.5. Waktu paro eliminasi (T1/2)
Secara definitif, waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik
berkurang menjadi separonya. Nilai parameter ini merupakan terjemahan praktis dari nilai Kel, dan dihitung dengan
rumus 0,693/Kel. Nilai T 1/2 ini banyak digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat
akan habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval pemberian), kapan kadar obat
dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang, dsb.
Berapa banyak fraksi obat yang masih berada
di dalam tubuh pada waktu 4 X T1/2?
II.6. Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik (darah/serum/ plasma) vs. waktu
(AUC)
Nilai AUC (Area Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode pengamatan, sesuai kebutuhan, misalnya
AUC0-12, AUC0-24 atau AUC0-~. Nilai ini menggambarkan derajad absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi
dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC
intravena suatu obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut (= F), yakni fraksi
obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler.
Parameter ini juga menunjukkan lama dan intensitas keberadaan obat dalam tubuh. Bila intensitas efek obat sangat
erat kaitannya dengan kadar (misalnya untuk obat-obat teofilin, tolbutamid, digoksin, antibiotika), secara tidak
langsung nilai ini juga akan menggambarkan durasi dan intensitas efek obat. Gambaran durasi didapatkan dari
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 5
lamanya kadar obat berada di atas kadar efektif minimal (KEM), dan intensitas efek dapat digambarkan dengan
tingginya kadar obat terhadap KEM.
Catatan: cara menghitung parameter-parameter farmakokinetik
dapat dilihat pada materi kuliah Farmakologi I
III. KLIRENS (CLEARANCE)
Di atas telah diuraikan, bahwa parameter-parameter yang lazim digunakan untuk menggambarkan proses eliminasi
adalah nilai T1/2 atau Kel (T 1/2 lebih disukai). Namun, sebenarnya nilai-nilai tersebut hanya merupakan apa yang
terlihat saja (penampakan luar), dan didapatkan dari perhitungan matematis yang diturunkan dari perubahan kadar
obat dalam darah dari waktu ke waktu. Sebenarnya Kel dan T1/2 tersebut merupakan hasil dari suatu proses yang
dinamakan klirens (CL = Clearance), yakni kemampuan tubuh untuk membersihkan darah dari obat yang termuat di
dalam tubuh (= Vd). Bila diformulasikan hubungan antara CL dengan Kel atau T1/2, akan didapatkan persamaan
berikut:
CL = Vd X Kel
0,693
atau CL = Vd X ------------
T1/2
Klirens, yang secara definitif diartikan sebagai kemampuan tubuh untuk membersihkan darah dari obat per satuan
waktu, dapat dibedakan menjadi 3 hal, yakni 1) klirens yang berasal dari kerja hepar sebagai organ metabolisme
utama, 2) klirens yang berasal dari kerja ginjal sebagai organ ekskresi utama dan 3) klirens yang berasal dari
organ-organ lain.
CL(tubuh total) = CLhepar + Cginjal + CLlain-lain
Pada kebanyakan obat, hepar dan ginjal memegang peran paling penting dalam proses eliminasi obat, sehingga
klirens yang disebabkan organ-organ lain dapat diabaikan, maka didapat persamaan:
CL(tubuh total) = CLhepar + CLginjal
Pada obat-obat yang eliminasi utamanya melalui metabolisme hepatal (misalnya metronidazol, teofilin, dll.), maka
klirens oleh organ-organ lain dapat diabaikan sehingga
CL(tubuh total) = CL(hepar)
sedangkan obat-obat yang eliminasi utamanya melalui ekskresi ginjal, maka
CL(tubuh total) = CL(ginjal)
Dosis
CL(tubuh total) juga dapata dihitung dari persamaan CL = -------------
AUC0-~
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 6
Bagaimana menghitung CLhepar dan CLginjal?
Klirens yang disebabkan oleh ginjal dapat secara mudah dihitung, yakni dengan mengukur kadar obat dalam urin
dalam periode waktu tertentu (misalnya selama 2 jam pada saat profil kinetik obat berada dalam fase eliminasi),
dibandingkan terhadap kadar obat dalam darah pada pertengahan periode tersebut. Sebagai contoh misalnya untuk
menghitung CLginjal salisilat:
U x V2-4
CLginjal = ----------------- satuan volume/waktu
P3
U adalah kadar salisilat dalam urin periode 2-4 jam setelah minum obat,
V adalah volume urin yang terkumpul pada periode di atas, dan
P adalah kadar salisilat dalam darah pada pertengahan periode (jam ke 3)
Klirens hepar dapat dihitung pada keadaan eksperimental, tetapi dengan mengetahui nilai CLtotal dan CLginjal,
CLhepar dapat dihitung. Bagaimana caranya?
Secara ringkas, kemampuan hepar untuk membersihkan darah dari obat persatuan waktu ditentukan oleh
kemampuan metabolisme obat oleh hepar dalam sesaat (rasio ektraksi = extraction ratio) dan oleh kecepatan aliran
darah yang melalui hepar. Rasio ekstraksi adalah suatu nilai yang menggambarkan fraksi obat yang dapat
dimetabolisme oleh hepar pada saat sejumlah obat melalui hepar. Dengan demikian, makin besar rasio ekstraksi,
makin besar kemampuan hepar untuk membersihkan darah, sehingga makin sedikit fraksi obat yang masih tertinggal
di sirkulasi sistemik. Demikian juga, makin cepat aliran darah yang melalui hepar, makin tinggi kemampuan hepar
membersihkan darah dari obat.
IV. FARMAKOKINETIKA DOSIS BERULANG /MAJEMUK
Karena efek obat umumnya tergantung pada kadarnya dalam sirkulasi sistemik, maka bisa dimengerti bahwa efek
obat akan menurun/hilang setelah selang beberapa waktu dari saat pemberian obat. Selang waktu ini bervariasi,
tergantung dari laju eliminasi obat dalam tubuh, atau dengan kata lain tergantung pada nilai T 1/2 nya. Obat dengan
nilai T1/2 panjang mungkin cukup dengan pemberian 1 x sehari (misalnya fenobarbital). Dengan demikian, dapat
difahami pula mengapa pada praktek pengobatan pada pasien, seringkali diperlukan pemberian dosis berulang-ulang
sampai beberapa hari, bahkan mungkin untuk penyakit-penyakit tertentu bisa sampai seumur hidup. Untuk membahas
masalah pemberian dosis berulang tersebut, digunakan farmakokinetika dosis berulang (multiple-dose
pharmacokinetics).
Apabila suatu obat yang mempunyai profil kinetik seperti Gambar 1 diberikan dengan dosis berulang, maka profil
kinetik yang akan didapatkan setelah pemberian dosis ke 10 adalah sebagai berikut (lihat Gambar 2). Pada Gambar 2
ini, dosis obat yang sama diberikan berulang-ulang dengan interval pemberian sebesar nilai T 1/2 nya (sebagai contoh
adalah kloramfenikol, dengan T 1/2 + 6-8 jam, diberikan 4 kali sehari). Di sini dapat dilihat, bahwa kira-kira pada dosis
ke 6, kadar-kadar obat yang terukur dalam darah ternyata tidak bertambah tinggi lagi. Hal ini merupakan hasil
mekanisme yang kompleks dalam tubuh, antara dosis obat yang diberikan, proses-proses kinetika obat dan upaya
melakukan penyesuaian. Keadaan ini, yakni tidak naiknya lagi kadar-kadar obat dalam tubuh setelah pemberian dosis
ke sekian, disebut sebagai keadaan tunak (= steady state). Waktu untuk mencapai keadaan tunak bervariasi antar
obat, namun biasanya antara dosis ke 5 sampai 10.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 7
Gambar 2.
Untuk mencapai keberhasilan pengobatan yang maksimal dengan efek samping minimal, kadar-kadar yang tercapai
pada keadaan tunak harus selalu berada dalam lingkup terapi, dan hal ini dapat diusahakan dengan optimalisasi
besarnya dosis tiap kali pemberian. Kalau perlu, dengan pembatasan berapa frekuensi maksimal perhari yang boleh
diberikan.
Pada praktek pengobatan yang sebenarnya, seringkali jadwal obat yang diberikan malam hari tidak tepat intervalnya.
Hal tersebut tidak perlu terlalu dirisaukan, selama waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak tidak
terpengaruh. Secara simulatif, profil kinetik yang akan diperoleh mungkin akan mendekati gambaran seperti pada
Gambar 3.
Gambar 3.
Bagaimana kalau obat diberikan interval yang lebih pendek
dari T1/2nya, bagaimana pula kalau lebih panjang?
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 8
Bagaimana kalau pasien melupakan 1 atau lebih dosis? Secara mudah, profil kinetiknya akan mendekati keadaan
seperti Gambar 4. Makin sering terlupa minum obat, makin lama keadaan tunak tercapai, atau mungkin malah sama
sekali tidak tercapai. Dengan demikian, sebenarnya mudah sekali bagi dokter untuk memberikan pengertian kepada
pasien, mengapa aturan minum obat harus selalu ditaati.
Gambar 4.
Parameter farmakokinetik dosis berulang
Pada dosis berulang, selain parameter-parameter farmakokinetik yang telah dikenal dari dosis tunggal, juga dikenal
Cmin, Cmax, dan % fluktuasi. Sebenarnya masih ada beberapa parameter penting lainnya, namun ketiga parameter di
ataslah yang paling berhubungan dengan proses pengobatan.
- Cmin adalah kadar terendah yang terukur dalam satu interval pemberian, yaitu kadar obat sesaat sebelum
pemberian dosis berikutnya.
- Cmax adalah kadar tertinggi setelah pemberian obat.
- Tingginya fluktuasi (lonjakan kadar tertinggi terhadap kadar terendah) dapat dihitung dengan rumus:
Cmax - Cmin
% fluktuasi = ---------------------------- X 100%
Cmin
Sebagai pedoman praktis, agar pengobatan berjalan secara optimal maka harus diupayakan agar Cmax tidak
melebihi kadar toksik minimal (KTM), sedangkan Cmin tidak kurang dari kadar efektif minimal (KEM). Lebih jauh,
makin kecil % fluktuasi, keamanan relatif makin terjamin.
Selain itu, untuk menandai apakah ada akumulasi atau tidak, pengamatan dapat dilakukan pada nilai AUC0-~. Kalau
tidak terjadi akumulasi, maka nilai AUC0-~ pada dosis tunggal sama dengan AUC0-t pada dosis berulang (t adalah
waktu dimana dosis berikutnya diberikan). Pada keadaaan di mana terjadi akumulasi, maka nilai AUC pada dosis
berulang akan didapatkan jauh lebih tinggi (lihat ilustrasi Gambar 2).
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 9
V. PEMBERIAN OBAT PER INFUS
Pemberian per infus diartikan sebagai pemberian obat secara perlahan-lahan dengan jangka waktu lama, sehingga
didapatkan keseimbangan antara kecepatan masuknya obat ke sirkulasi sistemik dengan kecepatan eliminasi obat.
Tujuan dari pemberian obat per infus terutama adalah agar didapatkan kadar terapetik yang terpelihara (konstan),
yang memang diperlukan pada keadaan-keadaan tertentu. Untuk itu, perlu dibedakan pemberian obat bersama infus
atau pemberian obat secara perlahan-lahan.
Pada saat akan dimulainya pemberian suatu obat secara infus, kadar obat dalam tubuh adalah nol. Kemudian
diberikan infus, maka kadar obat akan naik, setelah waktu tertentu proses eliminasi akan seimbang dengan kecepatan
masuknya obat, sehingga didapatkan keadaan yang disebut "steady state" atau "plateau". Steady state ini dapat
dipertahankan, apabila kecepatan infus diatur sedemikian rupa sehingga seimbang dengan kecepatan eliminasi (lihat
Gambar 5).
Gambar 5
Dengan demikian, secara matematis jumlah obat yang berada dalam tubuh (Ass) dan kadar obat dalam darah (Css)
pada keadaan steady state (=tunak) dapat diprediksi dengan formula:
Ro
a) Css = -------------- atau Ass = Css x Vd
Kel
Ro
b) Css = --------------
CL
Css adalah kadar obat pada keadaan tunak
Ro adalah kecepatan infus
CL adalah klirens tubuh total
Ass adalah jumlah obat yang berada dalam tubuh pada keadaan tunak.
Catatan: nilai CL obat-obat penting biasanya dapat ditemukan
di buku standard farmakologi dan farmakologi klinik
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 10
Latihan:
Bila diperlukan Css prokainamid sebesar 4 ug/ml, berapa kecepatan infus yang diperlukan bila diketahui CL
prokainamid 33 L/jam? Bila dipunyai larutan infus dengan kadar 1 mg/ml, berapa kecepatan infus harus diatur?
Berapa kecepatan tetesan infus kalau diperlukan Css sebesar 8 ug/ml?
Waktu untuk mencapai keadaan tunak pada pemberian obat per infus
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak? Bila infus diberikan dengan kecepatan yang
sama dengan kecepatan eliminasinya, maka keadaan tunak akan tercapai dalam waktu 3,3 x T 1/2. Pada keadaan
tertentu, mungkin waktu ini terlalu lama. Untuk itu, pencapaian keadaan tunak dapat dipercepat dengan pemberian
bolus, yaitu sejumlah dosis obat yang diberikan secara cepat. Pemberian bisa dilakukan dengan cara mempercepat
tetesan infus selama waktu tertentu, bisa dengan memberikan sejumlah dosis per injeksi intravena (lihat Gambar 6a,
6b, 6c).
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 11
Apabila kadar obat selama infus dipertahankan supaya tidak berubah, maka setelah infus dihentikan, kadar obat akan
menurun, mengikuti pola kinetika eliminasi yang dimiliki oleh obat tersebut (lihat Gambar 7).
VI. INDIVIDUALISASI REGIMEN PENGOBATAN
Sampai halaman ini, pembahasan mengenai farmakokinetik dilakukan dengan asumsi bahwa kemampuan kinetik dan
respons dinamik orang adalah sama/homogen. Setelah uraian di depan difahami, maka pembahasan selanjutnya
akan mengemukakan, bahwa sebenarnya pada keadaan-keadaan tertentu atau pada individu tertentu ternyata proses
farmakokinetik dan/atau respons dinamik tidak seperti pada kebanyakan orang, sehingga seringkali akan diperlukan
individualisasi dosis atau penyesuaian aturan pemakaian obat.
Apa saja yang menyebabkan respons kinetik dan/atau dinamik bervariasi? Ternyata dikenal beberapa penyebab,
misalnya karena perbedaan proses-proses kinetik sebagai akibat faktor usia, fungsi ginjal, fungsi hepar, malnutrisi,
penyakit tertentu, faktor genetik, formulasi dan cara pemberian obat, obat lain yang diberikan bersamaan dan berbagai
faktor lingkungan lain, atau karena perbedaan dalam hal timbulnya respons dinamik karena faktor lain yang seringkali
kurang jelas mekanismenya. Seringkali variasi ini menjadi sedemikian besar, sehingga akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Pada keadaan inilah maka kemudian perlu dilakukan penyesuaian regimen pengobatan.
Pemakaian obat pada kehamilan, bayi/anak dan lanjut usia telah dibicarakan secara mendalam dalam Modul A-07,
Modul A-08, dan Modul A-09, sedangkan dalam Modul A-10 ini pembahasan akan lebih dititik beratkan pada
perbedaan kinetika obat pada individu dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal.
VI.1. Gangguan fungsi hepar
Karena hepar adalah organ metabolisme utama, maka gangguan faal hepar akan menyebabkan menurunnya
kemampuan eliminasi obat-obat yang mengalami metabolisme hepatal. Penurunan tergantung pada keparahan
penyakit. Pada gangguan kronik misalnya sirosis, penurunan kemampuan akan turun secara nyata dan bermakna
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 12
secara klinik, sedangkan pada gangguan yang akut dan reversibel seperti misalnya hepatitis viral akut penurunan
kemampuan tidak begitu nyata. Pada hepatitis kronik akut dan jaundice obstruktif, kemampuan metabolisme menurun.
Dengan melihat keadaan ini, maka jelas bahwa pada gangguan fungsi hepar berat, perhatian khusus harus diberikan
pada obat-obat yang eliminasi utamanya menggunakan metabolisme hepatal. Untuk obat-obat ini, perlu dilakukan
penurunan dosis. Berapa banyak perlu diturunkan dan apa tolok ukurnya?
Bila pada gangguan fungsi ginjal, nilai klirens kreatinin dapat digunakan sebagai tolok ukur fungsi ginjal guna
menyesuaikan dosis, maka pada gangguan fungsi hepar tidak bisa semudah itu. Sejak dulu telah dicoba untuk
mencari korelasi antara parameter-paremeter fungsi hepar dengan kemampuan eliminasi obat, namun hasilnya tidak
pernah memuaskan. Hal ini bisa dimengerti, karena metabolisme obat mekanismenya sangat kompleks dan melalui
berbagai reaksi, masing-masing reaksi melibatkan ko-faktor dan enzim yang berlainan, dan pengaruh penurunan
fungsi hepar pada masing-masing reaksi tidak sama.
Oleh karena itu, untuk pemakaian obat pada pasien dengan gangguan fungsi hepar, lebih dianjurkan untuk mengganti
obat dengan obat lain yang eliminasinya tidak melalui hepar, daripada melakukan penyesuaian dosis yang belum
tentu tepat dan sulit diprediksi keamanannya.
VI.1. Gangguan sirkulasi
Karena proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi terjadi dalam media darah, maka jelas bahwa gangguan
sirkulasi misalnya pada syok, hipertensi maligna, kegagalan jantung kongestif akan mempengaruhi proses-proses
kinetik. Sebagai contoh, pada keadaan normal kecepatan aliran darah hepar adalah 18 ml/menit/kg. Pada anoksia
berat, aliran darah hepar menurun menjadi 2 ml/menit/kg. Karena eliminasi lidokain di hepar sangat dipengaruhi oleh
aliran darah hepar, maka penurunan ini akan sangat mengurangi kemampuan eliminasinya, sehingga untuk
menghindari kemungkinan toksisitas, lidokain perlu diturunkan dosisnya.
VI.2. Gangguan fungsi ginjal
Gangguan pada fungsi ginjal lebih mudah diamati dan dilakukan penyesuaian seperlunya, karena mekanismenya
tidak serumit metabolisme hepatal. Lazimnya, digunakan nilai klirens kreatinin untuk menggambarkan penurunan
fungsi ginjal. Selain itu, klirens obatpun selama periode tertentu dibagi dengan kadarnya dalam darah pada
pertengahan periode (Cl = UV/P).
Sebagai contoh obat yang diekskresikan terutama melalui ginjal dan mempunyai lingkup terapi sempit adalah
amikasin, suatu aminoglikosida. Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan T 1/2 nya memanjang, sehingga pada
pemberian dosis berulang akan diperoleh kadar tunak yang jauh lebih tinggi dari pada semestinya, bila diberikan
dengan interval pemberian yang lazim. Keadaan ini disebut akumulasi (lihat Gambar 8). Karena itu, pada pasienpasien
dengan gangguan fungsi ginjal, regimen dosis amikasin, dan juga aminoglikoda lainnya harus diubah, yaitu
dengan mengurangi dosis atau menjarangkan interval pemberian sesuai perkiraan T 1/2 nya.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 13
Bagaimana menyesuaikan dosis atau interval pemberian berdasarkan klirens kreatinin? Nilai klirens kreatinin adalah
gambaran kemampuan ginjal untuk membersihkan plasma dari kreatinin per satuan waktu. Mekanisme pembersihan
ini melalui ultrafiltrasi glomeruler, sehingga analogi dapat digunakan untuk obat-obat yang juga mengalami ultrafiltrasi
glomeruler.
Dengan mengukur klirens kreatinin seorang pasien dengan gangguan fungsi ginjal, maka fungsi ginjal (RF = renal
function) dari orang tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
CLkreatinin pasien
RF = ---------------------------------
CLkreatinin normal
Dengan mendapatkan nilai RF, maka dosis obat dapat disesuaikan, dengan mengalikan dosis lazim dengan nilai RF
tersebut.
Perhatian perlu diberikan untuk obat-obat yang mengalami akumulasi karena gangguan fungsi ginjal ini, terutama
untuk obat-obat yang mempunyai lingkup terapi sempit. Contoh yang paling dikenal adalah golongan aminoglikosida
ini, sehingga akan banyak dijumpai anjuran-anjuran individual dosis dalam buku-buku farmakologi klinik. Mungkin ada
beberapa variasi kecil dalam perhitungan, namun tujuannya sama, yakni menghindari akumulasi. Anjuran dapat
berupa penurunan dosis, atau penjarangan interval pemberian. Coba cari, bandingkan!
VII. PEMANTAUAN KADAR OBAT SELAMA TERAPI
Mengapa diperlukan pemantauan kadar selama terapi? Therapeutic drug monitoring diperlukan, agar kadar obat
selama terapi tetap berada dalam lingkup yang aman, yakni tidak melebihi KTM sehingga tidak menimbulkan efek
toksik, dan tidak di bawah KEM yang akan menyebabkan kegagalan terapi. Dengan demikian, pemantauan kadar
diperlukan pada:
a) Bila obat mempunyai lingkup terapi sempit, misalnya aminoglikosida,
b) Bila obat dipakai dalam jangka waktu lama sehingga ada kekhawatiran akumulasi, misalnya fenitoin dan
fenobarbital pada pasien epilepsi,
c). Bila variasi antar individu dalam proses kinetik besar sekali, sehingga meskipun pada dosis lazim mungkin efek
terapetik yang terjadi tidak adekuat, atau mungkin malah terlalu besar. Sebagai contoh adalah teofilin untuk
bronkodilator pada asma.
Pemantauan kadar obat selama terapi merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan pengobatan. Selain ini,
pemantauan juga dapat dilakukan terhadap respons klinik, atau berdasarkan pemeriksaan laboratorik terhadap
senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai indikator, misalnya kadar asam urat dalam serum pada pengobatan
gout, kadar glukosa dalam urin pada pemakaian obat-obat antidiabetika oral, dsb.
Bagaimana melakukan pemantauan kadar? Pertama yang perlu diingat adalah kapan dan pada saat bagaimana
pengambilan sampel darah dilakukan. Hal ini penting, agar dalam melakukan penafsiran hasil pengukuran kadar obat
tidak terjadi kekeliruan.
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 14
Beberapa macam informasi perlu dikumpulkan pada saat melakukan pemantauan kadar obat agar penafsiran data
dapat dilakukan secara efisien, yaitu terutama mengenai riwayat pemakaian obat, berapa lama, sudah dosis
keberapa, kapan terakhir minum obat, berapa dosisnya, apakah ada perubahan dosis, apakah ada jadwal yang
terlupa, dsb. Bila akan dilakukan pengukuran guna mengetahui Cmin dan Cmax, maka pengambilan sampel darah
harus diatur sedemikian rupa, sehingga waktu pengambilan tepat pada saat yang diharapkan. Caranya adalah dengan
mencari di pustaka, jam ke berapa setelah pemberian obat, kadar dalam darah akan mencapai puncak. Sedangkan
untuk Cmin, pengambilan sampel darah dilakukan sesaat sebelum minum dosis berikutnya. Untuk monitoring kadar
yang bersifat darurat, misalnya kecurigaan intoksikasi digoksin pada seorang pasien, maka sampel darah diambil
kapan saja, baru kemudian riwayat minum obat ditelusur.
Selain hal-hal di atas, perlu pula dicari informasi yang kira-kira ikut berperan terhadap tingginya kadar obat yang
ditemukan, antara lain, apakah ada penyakit penyerta (misalnya gangguan hepar/ginjal), kemungkinan interaksi kalau
ada obat lain yang diberikan bersamaan, dsb. Dan di luar itu semua, prosedur pengukuran kadar obat untuk keperluan
untuk monitoring terapi tidak boleh terlalu lama dan dengan ketelitian yang tinggi.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Rowland, M. & Tozer, T.N. 1989 Clinical Pharmacokinetics: Concepts and Applications, 2nd edition. Lea & Febiger,
Philadelphia.
Clark, B. & Smith, D.A. 1986 Introduction to Pharmacokinetics, 2nd edition. Blackwell Scientific Publications, Oxford.
***
Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--------------------------------------------- 15
FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN DASAR-DASAR PENGATURAN
DOSIS OBAT DALAM KLINIK
Petunjuk:
Latihan ini adalah kegiatan kelompok. Buatlah kelompok dengan anggota 5-6 orang, pilih ketua kelompok. Kerjakan
semua soal latihan kemudian kumpulkan hari ini juga. Gunakan referensi yang tersedia di kelas, kalau memerlukan
data kinetik.
LATIHAN 1. REGIMEN DOSIS
a. Bagaimana kalau suatu obat diberikan berulang interval pemberian yang lebih panjang dari pada T1/2 nya,
bagaimana pula kalau lebih pendek?
b. Coba telaah kasus-kasus berikut:
- Ampisilin mempunyai T 1/2 nya 1,5 jam, interval pemberian 4 x sehari.
- Rifampisin mempunyai T 1/2 jam, interval pemberian 1 x sehari dan 2 x seminggu.
Mengapa?
LATIHAN 2. PEMBERIAN OBAT PER INFUS
Seorang pasien memerlukan prokainamid per infus. Dibutuhkan kadar terapetik sebesar 4 ug/ml. Berapa kecepatan
infus yang diberikan? Kalau tersedia larutan infus 2 mg/ml, bagaimana mengatur tetesan infus? Bagaimana caranya
untuk menurunkan kadar prokainamid darah menjadi 2 ug/ml? Apakah diperlukan loading dose? Jelaskan jawaban
saudara. Kalau diperlukan, bagaimana cara menghitungnya? (berapa kadar/lingkup terapi prokainamid?).
LATIHAN 3. PENYESUAIAN DOSIS PADA GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Tindakan apa yang saudara lakukan, seandainya menghadapi pasien berikut:
- Terdapat gangguan fungsi ginjal, dengan perkiraan klirens kreatinin hanya 1/2 dari fungsi normal.
- Pasien harus mendapatkan pengobatan dengan gentamisin, dengan lingkup terapi 5 - 12 ug/ml.
LATIHAN 4. MONITORING KADAR OBAT SELAMA TERAPI
Seorang wanita umur 68 tahun, berat 72 kg, secara rutin menerima 0,25 mg digoksin (tablet) 1 x sehari untuk
mengontrol fibrilasi atrial dan kegagalan jantung kongestif. Timbul anoreksia dan mual, ada dugaan toksisitas
digoksin. Pengukuran kadar minimum dan maksimum didapatkan berturut-turut 2 ng/ml dan 5 ng/ml. Apa yang harus
dilakukan? Apakah perlu penurunan dosis? Berapa banyak dan mulai kapan?
***
A-10/L
sumber
 www.farklin.com

Jumat, 06 Mei 2011

TOPIK MASALAH              :  GAKI
a.     What: GAKI
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Iodine Deficiency Disorder)  merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan Yodium, akibat kekurangan Yodium ini dapat menimbulkan penyakit salah satu yang sering kita kenal dan ditemui dimasyarakat adalah Gondok.
 Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :
1.  Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto, 1994).
Hal ini dibuktikan oleh Marine dan Kimbell (1921) dengan pemberian iodium pada anak usia sekolah di Akron (Ohio) dapat yang mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling (Djokomoeldjanto, 1994).
2. Faktor Geografis dan Non Geografis
Menurut Djokomoeldjanto (1994) bahwa GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan.
Daerah yang biasanya mendapat suplai makanannya dari daerah lain sebagai penghasil pangan, seperti daerah pegunungan yang notabenenya merupakan daerah yang miskin kadar iodium dalam air dan tanahnya. Dalam jangka waktu yang lama namun pasti daerah tersebut akan mengalami defisiensi iodium atau daerah endemik iodium (Soegianto, 1996 dalam Koeswo, 1997).
3. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik
Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik (Djokomoeldjanto, 1974). Williams (1974) dari hasil risetnya mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh.
Goiterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992).
Menurut Chapman (1982) goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti kelompok Sianida (daun + umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ; kelompok Isothiosianat (daun pepaya) dan kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka).
4. Faktor Zat Gizi Lain
Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar thyroid terutama tahap transportasi hormon. Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T4 dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3 dan T4 bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya menurun.

KLASIFIKASI
Survei epidemiologis untuk gondok endemik biasanya didasarkan atas besarnya kelenjar tiroid, dilakukan dengan metode Palpasi, menurut klasifikasi Perez atau modifikasinya (1960) :
• Grade 0 : Tidak teraba
• Grade 1 : Teraba dan terlihat hanya dengan kepala yang ditengadahkan
• Grade 2 : Mudah terlihat, kepala posisi biasa
• Grade 3 : Terlihat dari jarak tertentu
Karena perubahan gondok pada awalnya perlu diwaspadai, maka grading system, khususnya grade 1 dibagi lagi dalam 2 klas, yaitu:
• Grade 1a : Tidak teraba atau teraba tidak lebih besar daripada kelenjar tiroid normal.
• Grade 1b : Jelas teraba dan membesar, tetapi pada umumnya tidak terlihat meskipun
kepala ditengadahkan.Kelenjar tiroid tersebut ukurannya sama atau lebih besar dari falangs akhir ibu jari tangan pasien.

b.    Who
Ø  Orang yang kekurangan iodium
Ø  Orang yang bertempat tinggal di dataran tinggi
Ø  Orang yang tinggal dengan kondisi lingkungan yang mengalami defisiensi iodium
Ø  Orang  yang tidak mengerti akan pentingnya iodium

c.      Where
Ø  Daerah pegunungan / dataran tinggi

d.    When
GAKI terjadi dalam periodik tahunan/ setiap tahun ada dan tidak dibatasi dengan periode waktu/ musim tertentu.

e.      Kesimpulan
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Iodine Deficiency Disorder)  merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan Yodium, akibat kekurangan Yodium ini dapat menimbulkan penyakit salah satu yang sering kita kenal dan ditemui dimasyarakat adalah Gondok.
            Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :
1.  Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
2. Faktor Geografis dan Non Geografis
3. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik
4. Faktor Zat Gizi Lain

Orang-orang yang dapat  terjangkit GAKI
Ø  Orang yang kekurangan iodium
Ø  Orang yang bertempat tinggal di dataran tinggi
Ø  Orang yang tinggal dengan kondisi lingkungan yang mengalami defisiensi iodium
Ø  Orang  yang tidak mengerti akan pentingnya iodium
Daerah yang mudah terjangkit GAKI
Ø  Daerah pegunungan / dataran tinggi

f.      Determinan



















g.     How
Setelah dilakukan pengamatan epidemiologi didapatka kesimpulan bahwa untuk menangani kasus GAKI, masyarakat dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
·        Mengkonsimsi makanan alam yang kaya akan iodium. Misal : ikan lautm udang, karang-karangan, ganggang laut, dan makanan lain yang bersumber dari laut.
·        Mengurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung zat GOITROGENIK
·        Makanan kapsul minyak beroiodium setahun sekali/ suntikan minyak beriodium 4 tahun sekali. Apabila sulit dijangkau distribusi garam beriodium.
CARA PENGGUNAAN GARAM BERIODIUM
·        Janganlah membubuhkan garam beiodium pada saat sayur masih mendidih dalam panci yang tidak tertutup. Bubuhkanlah garam beriodium pada saat sayur diangkat dari api dan kemudian ditutup agar kendungan iodium tidak menguap.
·        Lebih baik membubuhkan garam beriodium pada sambal, rujak, tahu goreng dll. Sebagai garam meja.
·        Garam beriodium hendaknya disimpan pada tempat yang kering dan tertutup rapat agar kandungan iodium tidak berkurang.